Madzhab
Hanafi merupakan madzhab fiqh Islam yang pertama kali muncul dari
kalangan Sunni. Madzhab Hanafi ini didirikan oleh Nu’man bin Tsabit bin
Zutha (80H-150H), yang lebih dikenal dengan nama Abu Hanifah. Mazhab
beliau menganut aliran pemikiran rasional yang berkedudukan di Kuffah.
Abu Hanifah merupakan salah seorang faqih dari ras Persia. Namun beliau berdomisili di Kuffah dan belajar kepada Fuqaha Muhammad bin Abi Sulaiman. Setelah beliau naik haji ke Mekkah, beliau berdiam di Kuffah mengajar ilmu hukum agama dan mendapat perhatian yang besar, karena beliau terkenal sebagai seorang yang sangat kuat dalam hujjahnya.
Meskipun Abu Hanifah besar di lingkungan keluarga pedagang (ayahnya, Tsabit bin Zutha, seorang pedagang kain sutra), beliau banyak memperdalam ilmu-ilmu keagamaan dari Imam ’Ashim (tokoh dari qira’ah Sab’ah), beliau mempelajari hadits-hadits nabi dari para muhadits tabi’in di Kuffah, Madinah, dan Mekkah. Bahkan menurut al-Maraghi, beliau senpat berjumpa dengan Anas bin malik di Kuffah. Perjalanan Abu Hanifah menjumpai para ulama hadits dan mempelajari hadits-hadits nabi dari mereka, membuat beliau menjadi seorang ulama hadits dengan karyanya Musnad Abu Hanifah.
Abu Hanifah merupakan salah seorang faqih dari ras Persia. Namun beliau berdomisili di Kuffah dan belajar kepada Fuqaha Muhammad bin Abi Sulaiman. Setelah beliau naik haji ke Mekkah, beliau berdiam di Kuffah mengajar ilmu hukum agama dan mendapat perhatian yang besar, karena beliau terkenal sebagai seorang yang sangat kuat dalam hujjahnya.
Meskipun Abu Hanifah besar di lingkungan keluarga pedagang (ayahnya, Tsabit bin Zutha, seorang pedagang kain sutra), beliau banyak memperdalam ilmu-ilmu keagamaan dari Imam ’Ashim (tokoh dari qira’ah Sab’ah), beliau mempelajari hadits-hadits nabi dari para muhadits tabi’in di Kuffah, Madinah, dan Mekkah. Bahkan menurut al-Maraghi, beliau senpat berjumpa dengan Anas bin malik di Kuffah. Perjalanan Abu Hanifah menjumpai para ulama hadits dan mempelajari hadits-hadits nabi dari mereka, membuat beliau menjadi seorang ulama hadits dengan karyanya Musnad Abu Hanifah.
Di samping itu, Abu Hanifah juga mempelajari fiqh dengan teori-teori kajiannya dari Hammad bin Abu Sulaiman, salah seorang ulama fiqih dari aliran rasionalis di Kuffah. Beliau belajar dengan Hammad selama kurang lebih 8 tahun.
Telah dijelaskan bahwa Abu Hanifah menganut aliran rasionalis (pemikiran rasio/akal) dan banyak yanng mengatakan bahwa beliau kurang menggunakan hadits Nabi SAW. Penyebab dari hal tersebut antara lain:
- Imam Hanafi hanyalah seorang keturunan Persia, bukan keturunan Arab.
- Tempat tinggal beliau (Irak) merupakan daerah yang sarat dengan budaya dan peradaban serta jauh dari pusat informasi hadits Nabi SAW, sehingga dalam menghadapi problema yang timbul terpaksa menggunakan akalnya.
- beliau tidak hanya menggumuli ilmu agama, bahkan beliau seorang pedagang yang selalu mengembara ke berbagai daerah.
Konstruksi Fiqh Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah ulama Ahl Ra’yi. Beliau bermukim dan
mempelajari hadis Nabi di Mekah dan beliau juga memperkaya koleksi
hadis-hadisnya dari luar Kuffah. Sementara itu, metodologi kajian
fiqhnya mencerminkan aliran Ahli ar-Ra’yi yang beliau pelajari dari Imam
Hammad, dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pertama dan
kedua.
Apabila beliau tidak menemukan ketentuan hukum yang tegas dalam
al-Qur’an maupun as-Sunnah, maka beliau mempelajarinya dari perkataan
sahabat, baik dalam bentuk ijma’ maupun fatwa, kalau ketiganya tidak
menyatakan secara eksplisit maka beliau mengkajinya melalui qiyas dan
ihtihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat
yang ditaati bersama-sama. Beliau menggunakan ijtihad dan pikiran untuk
dapat membuat perbandingan di antara pendapat-pendapat dan memilih salah
satu yang beliau anggap kuat ataupun menyinkronkannya.
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari
ungkapannya, “Sungguh, saya berpegang kepada kitab Allah jika aku dapati
di sana. Jika tidak, saya mengambil Sunnah Rasulullah SAW dan atsar
yang sahihah yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku
dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, saya mengambil
pendapat sahabat yang aku kehendaki dan meninggalkan pendapat orang yang
aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke
pendapat yang lain. Bila kasus dimaksud pernah diputuskan oleh
orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’ad
al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka berijtihad.”
Imam Abu Hanifah dikenal sbagai ahli pikir (Ahl ar-Ra’yi) karena
pemikiran-pemikiran beliau yang berdasar kepada kaidah yang dianggap
lepas. Misalnya:
1).
Kemudahan dalam beribadah, contohnya, sah sholat seseorang yang
ternyata tidak menghadap kiblat karena sulit mencari arah kiblat,
setelah ia berusaha mencarinya.
2). Memelihara kehormatan dan perikemanusiaan, contohnya, tidak sah hukumnya perkawinan secara paksaan oleh wali.
3).
Memberikan kuasa penuh kepada raja dan pemimpin-pemimpin negara,
contohnya, raja atau pejabat negara berhak mengendalikan kekayaan negara
seperti tanah, pemberian hadiah kepada pejuang tanah air sebagai
penghargaan, serta membagi tanah-tanah yang belum dibuka untuk
wilayah-wilayah negara.
Dasar-dasar yang digunakan oleh Madzhab Hanafi dalam menetapkan suatu hukum berdasar urutannya:
1). Al-Qur’an
Merupakan sumber dan dalil utama bagi hokum islam yang mengandung
berbagai ketentuan syari’ah dan berperan sebagai rujukan dalam proses
kajian segala permasalahan hukum agama.
2). As-Sunnah
Berfungsi sebagai penerang dan penjelas al-Qur’an, merinci kandungan
al-Qur’an yang masih bersifat umum. Orang yang tidak mau memegang
as-Sunnah berarti tidak mengakui kebenaran risalah Allah yang
disampaikan oleh Nabi SAW.
Syarat as-Sunnah sebagai dalil penetapan hukum, menurut madzhab Hanafi adalah harus shahih, mutawatir, dan masyhur
(terkenal secara luas). Kualifikasi ini dimaksudkan untuk membentengi
dari adanya hadis-hadis palsu yang sering muncul di wilayah tersebut.
Madzhab Hanafi tidak menerima atau menggunakan hadis ahad
(diriwayatkan oleh seorang rawi saja), bukan berarti mengingkari
as-Sunnah, akan tetapi untuk menyelidiki kebenaran para rawi tersebut.
3). Perkataan Sahabat
Menempati posisi ketiga sebagai dalil hokum islam karena sahabat adalah
orang-orang yang membawa ajaran Rasul kepada generasi sesudahnya, maka
pengetahuan dan pernyataan keagamaan mereka lebih dekat pada kebenaran
tersebut.
Perkataan sahabat ini bisa dikelompokkan menjadi dua bentuk, yakni
ijma’ dan pendapat pribadi sahabat. Abu Hanifah lebih mendahulukan
ijma’, jika ada pendapat yang berbeda dari para sahabat, yakni pendapat
yang bukan hasil ijma’, maka Abu Hanifah memilih pendapat yang dipandang
paling memadai untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan.
4). Al-Qiyas
Digunakan jika dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan perkataan sahabat tidak
ditemukan jawaban atau hokum atas persoalan yang dihadapi.
Imam Abu Hanifah merasa tidak harus menerima rumusan hokum dari murid-murid para sahabat (tabi’in) ketika tidak ada bukti jelas dan kuat. Ini karena beliau memandang bahwa dirinya setara dengan para tabi’in dan melakukan ijtihad sendiri berdasar prinsip-prinsip al-Qiyas yang dibangunnya bersama para muridnya.
5). Al-Istihsan
Artinya, berpindahnya seorang mujtahid dari satu dalil qiyas ke dalil
yang lain yang lebih kuat pengaruhnya atau lebih sesuai bagi kepentingan
manusia, meskipun bisa saja secara teknis dalil qiyas yang digunakan
lebih lemah daripada qiyas yang ditinggalkan. Dalil al-istihsan ini
biasanya dinisbatkan Imam Abu Hanifah, sehingga beliau dipandang sebagai
ulama’ yang ahli dalam bidang al-istihsan.
6). Al-‘Urf
Berarti tradisi masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan,
atau dengan perkataan lain adalah adat kebiasaan. Yang digunakan sebagai
dasar atau dalil tasyri’ adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan
nash, dan sejalan dengan semangat syari’ah.
Kemudian,
kita akan membuktikan bahwa teori istihsan yang banyak digunakan Abu
Hanifah bukan sesuatu yang keluar dari ketentuan nash. Abu Hanifah tidak
menyebutkan qiyas dan istihsan ke dalam dasar-dasr pijakan berijtihad,
sebab yang beliau maksud adalah dasar naqliyah, sementara qiyas dan
istihsan hanya merupakan metode istidlal ‘aqliyah dari dasar-dasar tadi.
Sebagai
diketahui bahwa Abu Hanifah adalah imam ahlur ra’yi, dalam menghadapi
nash al-Qur’an dan as-Sunnah, beliau berusaha menangkap pesan di balik
nash. Maka ia dikenal ahli dalam bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas. Dari
pendiriannya itu, beliau memunculkan teori istihsan.
Dalam
bahasan selanjutnya, sebenarnya belum ada perbedaan antara madzhab
Hanafi dengan yang lain, karena semua sepakat merujuk pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan
Imam-imam yang lain terletak pada kegemarannya menyelami suatu hokum,
mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama
disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan
teori qiyas, istihsan, ‘urf, teori kemaslahatan dan lainnya.
Perbedaan yang lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah sangat
selektif terhadap penerimaan hadis ahad. Tidak seperti Imam yang lain,
beliau sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya
dalam kerangka ‘illat, hikmah, tujuan-tujuan moral dan bentuk
kemaslahatan yang dipahaminya.
Betapapun Abu Hanifah terkenal dengan madzhab rasionalis yang acap kali
menyelami di balik arti dan ‘illat suatu hukum serta sering
mempergunakan qiyas, tetapi beliau tidak berarti mengabaikan nash
al-Qur’an dan as-Sunnah atau meninggalkan ketentuan hadis dan atsar.
Tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa beliau mendahulukan
rasio daripada sunnah atau atsar. Bahkan jika beliau menemukan pendapat
atau qoul (pernyataan) sahabat yang benar, beliau tidak menolak untuk
melakukan ijtihad.
Pemikiran fiqh Abu Hanfah tidak berdiri sendiri, tetapi malah berakar
kuat pada pendahulu-pendahulunya di Iraq dan juga ahli hadis di Hijaz.
Contohnya, menurut Abu Hanifah, jima’ sebelum wuquf di Arofah
membatalkan haji, sedangkan sesudah wuquf tidak membatalkan sebagaimana
pendapat Ibnu Abbas, dan menolak pemikiran Ibrahim yang banyak
mewariskan fiqh rasional kepadanya. Jadi, Abu Hanifah tidak mendahulukan
pemikiran rasional di atas qoul sahabat yang di anggapnya benar. “Tidak
ada pemikiran yang benar tanpa riwayat, dan tidak ada riwayat tanpa
pemikiran”.
Secara faktual, pemikiran fiqh Abu Hanifah memang sangat mendalam dan
rasional. Ia memberi syarat yang ketat dan selektif dalam penerimaan
hadis ahad. Ini dimaksudkan untuk mengukuhkan kebenaran periwayatan
hadis. Adapun syaratnya adalah:
1). Orang yang meriwayatkannya tidak boleh berbuat atau berfatwa yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan.
2). Hadis ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum dan sering terjadi. (karena seharusnya diriwayatkan banyak perowi).
3). Hadis ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum atau dasar-dasar kulliyah (mabadik kulliyah).
Selain
itu, Abu Hanifah lebih mengutamakan hadis yang diriwayatkan fuqoha
(ahli fiqh) daripada seorang ahli hadis, karena kesalehan dan kejujuran
belum cukup untuk mengetahui seluk-beluk hadis, apalagi yang menyangkut
hukum.
Ada banyak hadis yang disampaikan kepadanya kemudian ditolak. Misalnya:
1.
Abu Hanifah menolak hadis yang maksudnya, Nabi mengadakan undian
terhadap istri-istrinya bila hendak bepergian. Alasannya, undian
termasuk perjudian.
2.
Ibn Abi Syaibahdalam sebuah mushannafnya meriwayatkan hadis bahwa
Nabi merajam pria dan wanita Yahudi karena zina. Hanifah menolak hadis
itu karena tidak percaya bahwa rajam diberlakukan kepada mereka.
Alasannya, untuk dirajam ada dua syarat, Islam dan muhshan/muhshanah.
Dari beberapa contoh itu dapat disimpulkan bahwa tidak sembarang hadis
dapat meyakinkan Abu Hanifah sebagai hadis yang berasal dari Nabi. Dalam
penolakannya atas hadis-hadis beliau berkata, “…penolakan saya atas
seseorang yang bercerita tentang berita dari Nabi, selain al-Qur’an,
bukan dimaksudkan menolak Nabi dan bukan pula mendustakan Nabi. Tetapi
penolakan atas orang yang membawa berita bohong atas nama Nabi.” Dengan
demikian, sebenarnya Abu Hanifah termasuk pendukung hadis dan punya
andil besar dalam penyelamatan hadis Nabi dari kepalsuan. Hanya karena
selektif terhadap hadis, banyak orang Islam mencelanya. Terutama fuqoha
ahlul hadis memandang Abu Hanifah mendahulukan qiyas dari hadis. Yang
terjadi, sebuah hadis yang ditolak adalah karena Abu Hanifah menilainya
tidah shahih (menurut kriterianya), sementara oleh pihak lain dinilai
shahih, juga melalui criteria mereka.
Mengapa Abu Hanifah banyak melakukan ijtihad dan menggunakan rasio
dalam menghadapi masalah-masalah fiqh? Sebab, Abu Hanifah bukan
keturunan Arab. Beliau lahir sebagai keturunan Persia, yang lahir di
Kufah, Iraq, sebuah tempat yang jauh dari Hijaz, tempat wahyu turun,
tempat tumbuhnya hadis, dan tempat tinggalnya para sahabat nabi. Para
ahli fiqh di tempat Abu Hanifah ini lebih banyak mengenal dan mengerti
hadis dari fuqoha, bukan muhaddisin. Sudah tentu Abu Hanifah dituntut
untuk menyeleksi hadis yang sampai ke Kufah, atau minimal menyangsikan
keshahihan hadis atau perawinya yang tidak memenuhi persyaratan,
sehingga ia cenderung memakai rasio dan ijtihad.
Faktor lain: masyarakatnya banyak mengenal kebudayaan dan peradaban,
dan dihadapkan berbagai persoalan hidup beserta problematikanya yang
beraneka ragam, yang memaksa mengatasi persoalan-persoalan itu dengan
ijtihad dan akal.
Faktor lainnya: karena Abu Hanifah tidak hanya mengumuli ilmu-ilmu
syariat, beliau juga pernah mempelajari ilmu kalam (teologi), kemudian
belajar fiqh di madrasah Kufah kepada syekh Hammad bin Sulaiman. Beliau
juga banyak pengalaman berdagang. Studinya dalam ilmu kalam membuatnya
terampil dalam menggunakan logika untuk mengatasi persoalan fiqh. Beliau
juga piawai dalam mempraktekkan hukum Islam dalam perniagaan, melalui
pendekatan qiyas dan istihsan.
Dari faktor-faktor di atas dapat dipahami mengapa Abu Hanifah sering
mengadakan kajian-kajian preditif dalam masalah-masalah fiqh. Menjaring
kekuatan hukum serta secara sangat responsive dengan formula, teori dan
karakteristik yang global sehingga memberi ruang gerak dinamis dalam
madzhabnya.
Rasionalitas keputusan fiqhnya dapat dilihat dari contoh berikut:
Abu
Hanifah pernah ditanya, “Apa pendapatmu hukum minum dengan wadah gelas
yang di sebagian sisinya terdapat perak? Ia menjawab, “tidak mengapa.”
Ditanya lagi, “Bukankah minum dengan wadah emasdan perak dilarang oleh
Nabi?” Ia menjawab, “Apa pendapat anda kalau melintasi saluran air,
dalam keadaan haus kemudian minum air itu dengan menciduknya dengan
tanganmu yang ada di salah satu jarimu ada cincin emas?” Penanya
menjawab, “tidak mengapa.” “Begitulah,” kata Abu Hanifah.
Dari pendiriannya itu banyak ulama hadis dan fiqh yang menilainya
sebagai orang yang mendahulukan akal/ra’yi dan qiyas atas hadis Nabi,
sikap mana digolongankan mengikuti hawa nafsu.
Lebih jauh lagi, al-bukhari mengatakan, “Sebagian orang berkata bahwa
hukum-hukum Allah disyariatkan untuk mendatangkan maslahat kepada kita
atau menolak mudhorot. Hebatnya, mengadakan helah, menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal.” Ungkapan ini dimaksudkan untuk
menyindir metode ijtihad Abu Hanifah.
Kini madzhab ini banyak tersebar di Turki, Syria, Libanon, Bangladesh,
sebagian Afghanistan, Pakistan, Turkistan, India dan Tiongkok.
Produk Fikih
Abu
Yusuf (113-182 H). Murid pertama Abu Hanifah yang pertama menyusun
kitab. Menurut Ibnu Nadim banyak kitab yang dikarangnya, tetapi yang
sampai ke tangan kita hanya dua yaitu:
1. Al
Charadj: Risalah yang diturunkan kepada Harun Al Rasyid tentang charadj
(semacam pajak), usjur (semacam bea), djizyah (semacam upeti) dan
berbagai sedekah.
2. Khtilaf
Abi Hanifah wabni Abi Laila (perselisihan antara Abu Hanifah dan Ibnu
Abi Laila). Terhimpun didalamnya terdapat berbagai persengketaan kedua
imam itu.
Muhammad bin Hasan Asy Syaibani (132-189 H)
Kitab yang termasyhur dari beliau antara lain:
1. Kitab al-Asl fil furu’
2. Kitab
al Jami’ al Kabir: Himpunan dari berbagai masalah fikih berdasarkan
pendapat Abu Yusuf dan Abu Hanifah tanpa diberikan alasan-alasan secara
luas.
3. Kitab al Jami’ Ash-Shagir
4. Kitab al-Siyar al Kitab
5. Kitab Atsar, dan lain-lain.
Buku
karangan kedua murid diatas yang menjadi pokok madzhab Hanafi. Semua
buku karangan para ulama madzhab ini kemudian hari berasas kepada
kitab-kitab karangan kedua murid tersebut.
Yang ternama dari buku-buku fiqih itu:
1. Al-mukhtashar
karangan al-Quduri (428 H atau 1036 M) dengan tafsirnya al-Jauharah
an-Nayyirah karangan Abu Bakar al-Haddad al-‘Abbadi (800 H). Kitab
Mukhtashar ini diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh S. Keyzer
dengan judul Precis de la Jurisprudence Musulemane selon le rite
chafeite par abon Chodja.
2. Bidayat
al-Mubtadi karangan Burhan ad-Din Ali bin Abu Bakar al-Marghinani (593
H) dengan tafsirnya al Hidayah fi Syarh al-Bidayah. Kitab Hidayah ini
diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh Ch. Hamilton tahun 1791 M
atas perintah Wali Negeri Inggris di India Warren Hastings, The Hedaya
or Guide.
3. Jami’
ar-Rumuz karangan Syamsyudin Muhammad al-Khurasani al-Quhistani (950
H). Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa inggris oleh W. Nassau Lees
dengan judul The Jami’al Romooz, a comentary on the Noqayah, 1858 M.
4. Kanz
ad-Daqa’iq karangan Abul Barakat Abdullah bin Ahmad an-Nasafi (710 H
atau 1310 M) dengan beberapa tafsirnya, diantaranya Bahr al-Ra’iq
karangan Ibnu Nujaim (970 H atau 1563 M).
5. Multaqa’l-Abhur
karangan Muhammad bin Ibrahim al-Halabi (956 H/1549M) dengan tafsirnya
karangan Syekhzade (1087 H/1667 M). Buku ini bagi kerajaan Turki yang
dahulu sampai dengan abad ke XIX masehi adalah undang-undang yang resmi
“Corpus juris Moslimisi”. Terjemahan buku di atas ke dalam bahasa
Perancis oleh Mouradgea d’Ohsson dalam karyanya Tableau del Empire
Othoman dan oleh H. Sauvaire Le Moultaqa et abheur.
6. Tanwir
al-Abshar karangan Ibn Timurtasy (1004 H) dengan tafsirnya ad-Durr
al-Mukhtar karangan al-Hashkafi (1088 H) dan Raddal Mukhtar ‘alad-Durr
al-Mukhtar karangan Ibn ‘Abidin (1252 H) sebagai tafsir dari karangan
al-Hashkafi tersebut. Berasas kepada tiga kitab tersebut terbitlah pada
tahun 1875 M. Kitab al-Ahkam karangan Muhammad Kadri Pasya yang terkenal
di dunia barat dengan perantaraan terjemahannya dalam bahasa perancis
oleh E. Clavel Droit Musuleman. Du statut personel et des succession
d’apres les differentes rittes dan dalam bahasa inggris oleh Sir Wassey
Sterry dan N. Abcarius.
Seterusnya
juga penting kitab al-Faraidh as-Sirrajiyyah karangan Sirajuddin
Muhammad as-Sajawandi (penghabisan abad ke VI H atau abad ke XII M)
dengan tafsirnya as-Syarifiyyan karangan as-Syarif Ali bin Muhammad
al-Jurjani (804 H) yang terutama membicarakan tentang urusan pusaka.
Kitab ini diterjemahkan oleh Sir W. Jones dalam bahasa inggris dengan
judul as-Sirajiyyah with a commentary dan oleh A. Rumsey dengan judul
Al-Serajiyyah or the Muhammeden Law of Inheritance.
Diantara pengumpulan fatwa-fatwa yang terkenal adalah
1. Fatawi
dari Qadhi Khan (592 H/1196 M) yang ringkasannya terdapat dalam kitab
karangan Maulawi Muhammad Yusuf yang berjudul Mohammedan Law of Marriage
and Divorce.
2. Fatawi Sirajiyyah dari Siraj ad-Din dan
3. Al-Fattawa
al-Alamgiriyat yang disusun oleh Syaikh Nizam dan ulama lain atas
permintaan Paduka Yang Mulia Muhammad Awrengzib ‘Alamgir, Maharaja
Diraja Mongol di Hindustani (1067-1118 H atau 1658-1707 M). Tentang ini
lihat buku karangan N. B. E. Baillie dalam bahasa inggris yang berjudul A
Digest of Mohammedan Law on the Subjects to which it ussually applied
by British courts in India.
Kesimpulan
Abu
Hanafi adalah seorang pedegang dan juga seorang yang pintar ilmu agama.
Dia berada jauh dari kawasan pengajaran N. Muhammad sehingga ia dalam
mengeluarkan madzhab sangat rasional, akan tetapi beliau juga
menggunakan beberapa pertimbangan atau dasar dalam mengeluarkan
Madzhabnya.
Daftar Pustaka
H. abdullah Siddik, Asas-Asas Hukum Islam cetakan 1, Widjaya Jakarta: Jakarta,1982.
Prof. Dr. Ahmad Salaby, Sejarah Pembinaan Hukum Islam cetakan 2, Djajamuri Djakarta: Jakarta, 1960.
Syihab,Umar. 1996.Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran.Semarang:Dina Utama.
Rosyada,Dede.1995.Hukum Islam dan Pranata Sosial.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada
Zuhri,Muhammad.1996.Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Prof. K. H. Ali Yafie, Sejarah Fiqih Islam, Risalah Gusti: Surabaya, 1995.
0 komentar:
Posting Komentar
TAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA, KARENA MANUSIA ADALAH TEMPAT SALAH DAN LUPA,,please leave comment,,thanks