Sampah merupakan
konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia
pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah sampah sebanding dengan
tingkat konsumsi kita terhadap barang (material) yang kita gunakan
sehari-hari. Jenis sampah pun sangat tergantung dari jenis material yang
kita konsumsi.
Secara umum,
jenis sampah dapat dibagi 2 yaitu sampah organik biasa juga kita sebut
sampah basah dan sampah anorganik kita sebut sampah kering. Sampah basah
adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan,
sampah dapur, dll. Sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng,
botol, besi dll.
Sampah organik dapat terdegradasi
membusuk dan hancur secara alami. Sedangkan sampah anorganik, sampah
jenis ini tidak dapat terdegradasi secara alami serta memerlukan proses
berpuluh tahun agar hancur.
Semua negara di dunia mengalami
masalah sampah ini, mari kita tengok bagaimana pengelolaan sampah di
negara-negara maju? Pertama di Asia, contohnya: negara Jepang yang kita
kenal dengan budaya tachiyomi (membaca sambil berdiri di toko buku tanpa
membeli). Selain itu, Jepang sangat disiplin dalam mengelola sampah
sangat jauh berbeda dengan negara kita (Indonesia).
Mereka
(Jepang) telah membuat peraturan tentang pengelolaan sampah ini, yang
diatur oleh pemerintah kota. Mereka telah menyiapkan dua buah kantong
plastik besar dengan warna berbeda, hijau dan merah. Namun selain itu
ada beberapa kategori lainnya, yaitu: botol PET, botol beling, kaleng,
batu betere, barang pecah belah, sampah besar dan elektronik yang
masing-masing memiliki cara pengelolaan dan jadwal pembuangan berbeda.
Sebagai
ilustrasi, cara membuang botol minuman plastik adalah botol PET dibuang
di keranjang kuning punya pemerintah kota. Setelah sebelumnya label
plastik yang menempel di botol itu kita copot dan penutup botol kita
lepas, label dan penutup botol plastik harus masuk ke kantong sampah
berwarna merah dan dibuang setiap hari kamis. Apabila dalam label itu
ada label harga yang terbuat dari kertas, pisahkan label kertas tersebut
dan masukkan ke kantong sampah berwarna hijau dan buang setiap hari
Selasa.
Selain pengelolaan sampah di rumah, departemen store,
convenient store, dan supermarket juga menyediakan kotak-kotak sampah
untuk tujuan recycle (daur ulang). Kotak-kotak tersebut disusun berderet
berderet di dekat pintu masuk, kotak untuk botol beling, kaleng, botol
PET. Bahkan di beberapa supermarket tersedia untuk kemasan susu dan jus
(yang terbuat dari kertas). Uniknya lagi, dalam kotak kemasan susu atau
jus (biasanya terpisah), terdapat ilustrasi tentang cara menggunting dan
melipat kemasan sedemikian rupa sebelum dimasukkan ke dalam kotak.
Proses daur ulang itu pun sebagian besar dikelola perusahaan produk yang
bersangkutan, dan perusahaan lain atau semacam yayasan untuk
menghasilkan produk baru. Hebatnya lagi, informasi tentang siapa yang
akan mengelola proses recycle juga tertulis dalam setiap kotak sampah.
Sementara,
pengelolaan sampah di stasiun kereta bawah tanah, shinkansen, pada saat
para penumpang turun dari kereta adapetugas yang berdiri di depan pintu
keluar dengan membawa kantong plastik sampah besar siap untuk menampung
kotak bento dan botol kopi penumpang sambil tak lupa untuk membungkuk
dan mengucapkan "otsukaresama deshita!."
Sebelum isu meningkatnya
gerakan anti-terorisme (setidaknya mereka menyebut demikian), pada
awalnya, di tempat umum juga menyediakan menyediakan kotak-kotak sampah,
biasanya untuk kategori kaleng, beling, dan sampah biasa (ordinary).
***Sementara
itu di Eropa dalam mengatasi masalah sampah ini, Komisi Eropa telah
membuat panduan dasar pengelolaan sampah yang diperuntukkan untuk
negara-negara anggotanya, seperti Belanda, Swedia dan Jerman. Dalam
penyusunan panduan itu melibatkan pemerintah, pengusaha, dan rakyat
masing-masing negara. Lalu, Kebijaksanaan Eropa itu kemudian
diterjemahkan oleh parlemen negara masing-masing ke dalam
perundang-undangan domestik, yang berlaku buat pemerintah pusat hingga
daerah.
Sampai dengan abad ke-17
penduduk Belanda melempar sampah di mana saja sesuka hati. Di abad
berikutnya sampah mulai menimbulkan penyakit, sehingga pemerintah
menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah. Di abad ke-19, sampah masih
tetap dikumpulkan di tempat tertentu, tapi bukan lagi penduduk yang
membuangnya, melainkan petugas pemerintah daerah yang datang
mengambilnya dari rumah-rumah penduduk. Di abad ke-20 sampah yang
terkumpul tidak lagi dibiarkan tertimbun sampai membusuk, melainkan
dibakar. Kondisi pengelolaan sampah di Negeri Kincir Angin (Belanda)
saat itu kira-kira sama seperti di Indonesia saat ini.
Kini
di abad ke-21 teknologi pembakaran sampah yang modern mulai diterapkan.
Teknologi itu memungkinkan pembakaran tidak menimbulkan efek sampingan
yang merugikan kesehatan. Agar tujuan itu tercapai, sebelum dibakar
sampah mesti dipilah-pilah, bahkan sejak dari rumah. Hanya yang tidak
membahayakan kesehatan yang boleh dibakar. Sampah yang memproduksi gas
beracun ketika dibakar harus diamankan dan tidak boleh dibakar. Yang
lebih menggembirakan, selain bisa memusnahkan sampah, ternyata
pembakaran itu juga membangkitkan listrik.
Sementara,
pengelolaan sampah di Swedia selalu mengedepankan bahwa sampah merupakan
salah satu resources yang dapat digunakan sebagai sumber energi. dasar
pengelolaan sampah diletakkan pada minimasi sampah dan pemanfaatan
sampah sebagai sumber energi. Keberhasilan penanganan sampah itu
didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat yang sudah sangat tinggi.
Landasan kebijakan Swedia, senyawa beracun yang terkandung dalam sampah
harus dikurangi sejak pada tingkat produksi. Minimasi jumlah sampah dan
daur ulang ditingkatkan. Pembuangan sampah yang masih memiliki nilai
energi dikurangi secara signifikan.
Sehingga, kebijaksanaan
pengelolaan sampah swedia antara lain meliputi: Pengurangan volume
sampah yang dibuang ke TPA harus berkurang sampai dengan 70 % pada tahun
2015. Sampah yang dapat dibakar (combustible waste) tidak boleh dibuang
ke TPA sejak tahun 2002. Sampah organik tidak boleh dibuang ke TPA lagi
pada tahun 2005. Tahun 2008 pengelolaan lokasi landfill harus harus
sesuai dengan ketentuan standar lingkungan. Pengembangan teknologi
tinggi pengolahan sampah untuk sumber energi ditingkatkan.
Sedangkan
di Jerman terdapat perusahaan yang menangani kemasan bekas (plastik,
kertas, botol, metal dsb) di seluruh negeri, yaitu DSD/AG (Dual System
Germany Co). DSD dibiayai oleh perusahaan-perusahaan yang produknya
menggunakan kemasan. DSD bertanggung jawab untuk memungut, memilah dan
mendaur ulang kemasan bekas.
Berbeda dengan kondisi Jerman 30
tahun silam, terdapat 50.000 tempat sampah yang tidak terkontrol, tapi
kini hanya 400 TPA (Tempat Pembuangan Akhir). 10-30 % dari sampah awal
berupa �slag� yang kemudian dibakar di insinerator dan setelah ionnya
dikonversikan, dapat digunakan untuk bahan konstruksi jalan.
Cerita
menarik proses daur ulang ini datangnya dari Passau Hellersberg adalah
sampah organik yang dijadikan energi. Produksi kompos dan biogas ini
memulai operasinya tahun 1996. Sekitar 40.000 ton sampah organik
pertahun selain menghasilkan pupuk kompos melalui fermentasi, gas yang
tercipta digunakan untuk pasokan listrik bagi 2.000 � 3.000 rumah.
Sejak
1972 pemerintah Jerman melarang sistem �sanitary landfill� karena
terbukti selalu merusak tanah dan air tanah. Bagaimanapun sampah
merupakan campuran segala macam barang (tidak terpakai) dan hasil reaksi
campurannya seringkali tidak pernah bisa diduga akibatnya. Pada
beberapa TPA atau instalasi daur ulang selalu terdapat pemeriksaan dan
pemilahan secara �manual�. Hal ini untuk menghindari bahan berbahaya
tercampur dalam proses, seperti misalnya baterei dan kaleng bekas oli
yang dapat mencemari air tanah. Sampah berbahaya ini harus dibuang dan
dimusnahkan dengan cara khusus.
(Dicuplik dari: http://www.alpensteel.com/article/56-110-energi-sampah--pltsa/2584--pemanfaatan-sampah-di-negara-maju.html)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
TAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA, KARENA MANUSIA ADALAH TEMPAT SALAH DAN LUPA,,please leave comment,,thanks