Di mana saja, di zaman modern ini, permasalahan yang
dihadapi oleh manusia sama saja. Manusia yang dibesarkan dalam latar belakang
yang dibentuk oleh generasi pendahulunya, harus berhadapan dengan arus budaya global
yang sama sekali baru, tapi harus disikapi, disinggung, diseleksi, bahkan diterima.
Sehingga tak ada bedanya di mana pun kita hidup: Di Indonesia, di Eropa, di
Amerika, di Saudi Arabia sampai pun di pedalaman Afrika.
Dengan menjamurnya buku-buku ala Chicken Soup saat
ini, menunjukkan bahwa arus budaya global itu tidak bisa dimungkiri lagi ada, dan
punya kekuatan untuk mengakulturasi budaya lokal (yang bahkan bisa-bisa
menyingkirkannya). Dan, buku ini adalah salah satunya. Dengan pertimbangan
latar belakang sosial budaya yang merupakan tempat lahirnya Islam, buku ini
menawarkan perspektif yang lain. Ketika membaca buku ini, penerbit mengajak pembaca
untuk melihat dan memahami perspektif itu. Di sini, pembaca dituntut untuk
menjadi seorang pemerhati sosial budaya Timur Tengah, baru kemudian memahami
permasalahan modernisme di wilayah itu, dan dunia pada umumnya. Sebagai gambaran
tentang bagaimana orang-orang Arab, khususnya Saudi Arabia, menghadapi arus
budaya modern itu tampak dari pengalaman penulis buku ini. Adalah Aidh al-Qarni
yang dalam usianya yang baru empat puluh tahun 3 tahun mendatang, ia sudah
termasuk sosok yang sudah kenyang makan asam garam. Dengan tuduhan tidak
berdalil, dia pernah dijebloskan ke dalam penjara. Dan ketika keluar,
tulisan-tulisannya mendapat sambutan hangat oleh masyarakat Saudi Arabia pada
umumnya, khususnya buku ini. Dan itu tergambar dalam aliran tulisan bab per bab
dalam buku ini: pada bab-bab pertama memang terkesan kurang masuk ke permasalahan
aktual dan lebih menyajikan uraian-uraian yang dogmatis; baru di bab-bab tiga
perempat berikutnya benar-benar ini.
Alasan lain mengapa buku ini diterima luas adalah
gaya bahasa dan penulisan yang mengalir dan lugas, yang seakan-akan lari dari
pakem buku-buku Arab klasik meski membahas tema yang sama. Namun demikian,
citra sastra yang banyak mewarnai budaya (baca: sistematika penulisan) Arab
pada umumnya, dengan sentilan petikan-petikan dari kata-kata bijak, syair-syair
La Tahzan Arab kuno maupun modern, hingga hadits dan al-Qur'an, sangat kental
di sini. Bukan saja karena faktor budaya saja, tapi latar belakang akademis
penulis sendiri yang memungkinkan ke arah itu. la telah menyelesaikan program Doktoral
dalam bidang Hadits di Fakultas Ushuluddin pada Al-Imam Islamic University,
Riyadh. la juga hafal al-Qur'an (yang merupakan syarat mutlak sebagai mahasiswa
di Saudi Arabia, pada umumnya), hafal 5000 hadits, dan lebih dari 10000 bait
syair Arab kuno hingga modern.
Sejak pertama kali diterbitkan, 2001, (Dar Ibnu
Hazm: Beirut), buku ini bertahan selama dua tahun sebagai buku terlaris. Untuk
cetakan pertama, dalam kurang waktu sebulan sudah habis terjual. Antusiasme
yang sama juga diberikan kepada cetakan kedua hingga kesembilan. Namun mulai
cetakan ketiga, hak cetaknya diambil alih oleh sebuah pustaka besar di Riyadh, Alobeikan.
Dan penting untuk diketahui, DR. Aidh al-Qarni
adalah penulis paling produktif di Saudi Arabia saat ini.
Jakarta, akhir Agustus 2003
0 komentar:
Posting Komentar
TAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA, KARENA MANUSIA ADALAH TEMPAT SALAH DAN LUPA,,please leave comment,,thanks