Segala puji dan syukur bagi Allah Rabb alam semesta.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan dan tauladan
kita, Muhammad Rasulullah, keluarga, dan para shahabatnya. Wa Ba'du.
Jika kita membaca buku-buku self-help, buku-buku
petunjuk cara hidup, nuansa yang akan kita dapatkan dalam buku-buku itu adalah
bagaimana kita mencapai kesuksesan dunia, atau lebih tepatnya kesuksesan
materiil. Hal ini banyak kita dapatkan dalam buku-buku yang ditulis oleh para
penulis barat yang memang hanya berorientasi pada materi semata.
Coba baca buku-buku yang dianggap sangat berpengaruh
dan menjadi best seller semisal, The Magic of Thinking Big, karya David J.
Schwart, How to Stop Worrying and Start Living, karya Dale Carnegie, Speech Can
Change Your Life, karya Dorothy Sarnoff ataupun buku The Seven Habits of Highly
Effective People, tulisan Steven R. Covey, Anda akan dapatkan
petunjuk-petunjuk. praktis ke arah kebahagiaan yang lebih cenderung duniawi
daripada ukhrawi. Allah dan akhirat tidak menjadi bagian paling penting dalam
kajian-kajian mereka. Di sinilah, menurut orang-orang yang beriman, letak
kekurangannya meski karya-karya mereka enak dibaca. Sisi kerohaniannya terasa
begitu kering.
Berbeda tatkala kita membaca buku La Tahzan yang
ditulis oleh Dr. Aid al-Qarni . Buku ini sangat padat dengan nuansa rabbani
tanpa mengesampingkan sisi-sisi duniawi. Kita seakan diajak untuk menatap dunia
ini dengan pandangan yang seimbang: Kita diajak untuk menjadi idealis dengan tetap
realistis, menjadi duniawi dan ukhrawi sekaligus, mempersiapkan kehidupan masa
kini namun tak lupa masa depan, diajak bekerja dengan keras dan diajak pula
beristirahat.
Tulisan dalam buku ini merupakan resep-resep manjur,
yang menunjukkan kepada kita bagaimana harus meniti jalan kehidupan dan membangun
kehidupan yang bahagia dengan berpedoman pada satu kata: La Tahzan, jangan
bersedih. Dengan kata kunci ini kita akan dapat menjalani kehidupan ini dengan
penuh semangat. Kita tidak akan pernah dirisaukan oleh masa lalu yang telah
lewat dan tidak pula dicemaskan oleh masa depan yang akan datang. Kita akan
menjadi manusia masa kini yang bekerja pada hari ini dengan mencurahkan segenap
kekuatan dan pikiran yang ada dengan keyakinan bahwa hasil akhirnya kita
serahkan kepada Allah. Dunia ini akan menjadi sangat indah jika kita
menikmatinya dengan senyuman, bukan dengan muram durja serta kesedihan yang
berlarut-larut. Ketika membaca buku ini dengan seksama kita akan merasa bahwa
jiwa, kalbu, nurani, dan pikiran kita tercerahkan, dan pada saat yang bersamaan
kita merasakan adanya peningkatakan kualitas kehidupan ini. Selanjutnya, akan
lahir dari diri kita simpati dan empati kepada orang lain, rasa peduli kepada
sesama dan, yang lebih penting, kedekatan dengan Sang Maha Pencipta.
Ketika membaca buku ini kita seakan diingatkan kepada
buku How to Stop Worrying and Start Living, karya Dale Carnegie dan buku Jaddid
Hayataka karya Muhammad al-Ghazali. Namun berbeda dengan keduanya, La Tahzan lebih
terfokus, sederhana dan praktis untuk kita jadikan panduan dalam kehidupan
kita.
Bahasan-bahasannya tidak terlalu panjang, penuh
hikmah dan selalu memberi waqfah (rehat) untuk merenung sebelum kita membaca
tulisan selanjutnya. Inilah kekhasan buku ini yang akan memberikan warna baru dalam
khazanah keilmuan kita. Dan, yang sangat penting untuk tidak kita lewatkan
adalah bagian akhir dari tulisan ini yang merupakan kesimpulan dari
tulisan-tulisan sebelumnya. Pada bagian ini kita akan disegarkan dengan kata-kata
dengan gaya bahasa nash yang menjadi saripati dari tulisan-tulisan sebelumnya.
Kata-kata hikmah ini akan menjadi resep instan agar kita menjadi manusia paling
bahagia di dunia dan akhirat.
Tidak semua syair yang ada dalam buku ini saya
terjemahkan. Ini sengaja saya lakukan jika dalam satu bahasan ada beberapa
syair yang saya anggap telah cukup mewakili syair-syair yang lain, di samping
pertimbangan bahwa syair yang saya terjemahkan adalah syair yang mungkin akan
lebih indah penerjemahannya dari syair yang lain. Namun saya yakin bahwa tidak diterjemahkannya
sebagian syair-syair itu sama sekali tidak akan mengurangi maksud, nilai dan
bobot buku ini.
Dalam penerjemahan ini saya sengaja mencantumkan
surat dan nomor ayat—satu hal yang tidak diinginkan dan tidak dilakukan
penulis—dengan harapan akan mempermudah pembaca dalam merujuk pada ayat-ayat
yang ada di dalam al-Qur'an, terutama kalangan pembaca Indonesia.
Saya merasa mendapat amanah dan kehormatan ketika
Qisthi Press memberikan kepercayaan kepada saya untuk menerjemahkan buku yang
sangat berharga dan mencerahkan ini. Banyak hal baru yang saya dapatkan dari menerjemahkan
buku ini. Banyak pelajaran yang saya petik dari kisah-kisah penuh hikmah,
resep-resep dan panduan hidup dalam buku ini. Semakin sering saya membaca buku
ini semakin tinggi apresiasi saya terhadap makna hidup dan kehidupan ini. Saya
yakin bahwa pengalaman yang sama juga akan dialami oleh pembaca buku ini,
sebuah pengalaman yang dialami oleh penulis dan penerjemahnya.
Ucapan terima kasih juga saya haturkan pada ayahanda
H. Abdur Rahman dan ibunda Zakiya karena berkat dorongan dan doanya
penerjemahan buku ini bisa selesai. Ucapan terima kasih juga saya ucapkan pada
isteri saya, Ita Maulidha, karena berkat bantuannya penerjemahan buku ini bisa
rampung. Hasil terjemahan buku ini saya hadiahkan untuk adik saya, Farah
Maisarah, dan anak saya, Fursan Ruhbani serta Fathiril Haq.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya saya
ucapkan pada saudara Rusdi Mahdami, direktur Qisthi Press, yang telah memberi
kepercayaan kepada saya untuk menerjemahkan buku yang sangat berharga ini.
Saya berharap buku ini akan menjadi panduan singkat
dan tepat dalam menyikapi hidup ini, dan demi meniti kesuksesan di akhirat
nanti.
Rangkasbitung, Juli 2003
Samson Rahman
0 komentar:
Posting Komentar
TAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA, KARENA MANUSIA ADALAH TEMPAT SALAH DAN LUPA,,please leave comment,,thanks